BERBAGI
[responsivevoice_button voice="Indonesian Female" buttontext="Dengarkan Artikel ini.."]

Hidup ini menyediakan pilihan. Dan buat anak muda ini, pilihan itu ada dua. Meneruskan kuliah atau tekuni bisnis. Dia memilih yg kedua. Jualan. Banting setir dari usaha percetakan punya sang ayah yg selalu redup, ke usaha meja lipat. Jika kemudian dia ditulis media ini, itu karena anak muda ini telah menapaki jalan berliku, dan ada terang di depan sana.

Anda mulai sulit menemukan sekat bilik di kantor itu. Open space. Sonder kubikel. Dan menemukan begitu banyak mainan seperti fussbal, perangkat PS4, ayunan, meja pimpong, hingga samsak tinju lengkap dengan sarung tangan seperti yg dipakai si legendaris Mike Tyson merobohkan lawan.Di kantor yg penuh dengan anak muda kreatif itu di situ Anda mulai merasa tua seandainya berusia di atas 45 seperti aku – Ardy melayani wawancara ini. Duduk di tangga taman buatan dekat pintu masuk. Memakai kaos hijau bertuliskan tokopedia Top Community, dia kelihatan stylish dan lancar berkisah pahit getir, jatuh bangun bisnis “si meja lipat” itu.

Ide bisnis ini, begitu dia memulai ceritanya, berawal dari mejal lipat yg ramai di pasar tradisional hingga toko raksasa di sejumlah kota. Meja lipat biasa saja laku, “Masa meja yg berkarakter dan lucu-lucu nggak laku.” Begitulah naluri bisnisnya memberi logika. Maka mulailah dia beraksi.

Uang beberapa juta rupiah dari sang ayah dipakai membeli bahan. Bikin sendiri, dan jadilah 20 meja kecil. Begitu dijual, hanya sesuatu beberapa yg laku. Selebihnya menumpuk. Boleh disebut gagal total. “Dipotong-potong juga nggak ada gunanya,” kenang Ardi soal kegagalan itu.

Biang kegagalan itu adalah bahan. Meja itu dibuat dari papan hasil olahan serbuk kayu. Agak berat. Gagal pada langkah mula itu, Ardy tak patah semangat. Pilihan hidupnya telah agak jauh, bangku kuliah telah ditinggalkan dan mundur adalah sejenis menyerah. Lalu datanglah gagasan ini.

Baca Juga:  Bos Indosat Soal Interkoneksi: Itu Kebijakan Pro Rakyat

Bahan baku harus dari multiplek, papan triplek yg agak tebal. Untuk percobaan yg kedua ini, ayahnya merogoh modal tiga juta. Maka jadilah 30 meja. Berdua dengan sang ayah, sehari mampu membuat lima meja. Bekerja enam hari, sepekan dapat bikin 30 meja. Dan inilah kalkulator bisnis anak muda ini. Biaya produksi Rp 30 ribu buat setiap meja. Dijual seharga Rp 55 ribu. Demi merayu pembeli, dia merangsek ke tempat yg meriah. Memajang dagangan di emperan jalan pada hari Minggu, di acara car freeday di kota itu. Poly yg laku. Hampir seluruh terjual.

Rejeki dari pinggir jalan memberinya asupan tenaga. Bersama sang ayah, dia rutin memproduksi meja dari Senin hingga Sabtu, dahulu di hari Minggu melaju ke emperan jalan pada keramaian kota. Selalu begitu. Meski tidak banyak, tetapi rutin.

Sampai pada sebuah malam di Bulan Juni 2014, saat ayah ibu dan adiknya telah terlelap, Ardy masih mematut mata pada layar tivi. Menonton sebuah film laga yg ditayangkan sebuah stasiun televisi. Memakai kaos dan celana pendek.

Meski yg ditayangkan film laga, mata anak muda ini justru kepincut dengan iklan Tokopedia, yg muncul pada jeda film itu. “Apa ya Tokopedia ini?” begitu dia membantin malam itu. Pertanyaan itu dibawanya ke dipan. Mengaso dilarut malam.

Esok pagi dia bangun pukul enam. Langsung bergegas ke komputer. Internet pakai modem, dahulu membuka alamat Tokopedia. “Itu pertama kali aku masuk toko online,” kenangnya. Empat jam memencet sana-sini di situ, mencermati cara kerjanya, anak muda ini akhirnya membuat akun sendiri.

Baca Juga:  Begini Cara Ilmuwan Tahu Orang Depresi Lewat Foto Instagram

Setelah membuat sejumlah meja, sore hari dia memotret hasil karyanya itu, dahulu diluncurkan di Tokopedia. Link dari Tokopedia itu dahulu disebarkan ke sejumlah tempat. Sejumlah forum hingga media sosial. Lalu menunggu.

Tiga hari menanti, akhirnya sebuah order mampir ke situ. Pesan sesuatu meja. Si pemesan juga orang Solo. Ardy dulu membungkus meja lipat itu dengan kertas Koran, selalu meluncur ke kantor pos. Di sana sempat ditolak.

Sebabnya adalah si bungkusan itu. Pegawai di kantor pos itu bilang, kertas Koran itu gampang rusak. Tapi dia ngotot, dengan alasan alamat tujuannya hanya di kota Solo juga. Pegawai pos itu memahami. Kiriman meluncur dan datang dengan selamat. Sebetulnya, tutur Ardy , “Saya ngotot karena tak tahu lagi bagaimana cara membungkus yg benar.” Nir tahu harus bungkus pakai apa.

Pulang ke rumah, dia dahulu berselancar di internet, mencari tahu model-model membungkus kiriman seperti itu. Yang paling bagus, katanya, ternyata pakai dos single face. Dia dahulu memburu bahan baku ke toko.

Hari keempat masuk pesanan dari Semarang. Dia pesan 10 meja. Si pemesan, yg sehari-hari menjadi Guru Taman Kanan-kanak di Semarang, itu adalah reseller pertama anak muda ini. “Dia menjualnya di pinggir jalan,” kenang Ardy.

Si Pak Guru itu mengenal bisnis meja lipat ini dari Tokopedia. Lalu memesan. Setelah itu, lanjutnya, saban hari terus ada pesanan via Tokopedia. Lantaran pesanan kian banyak, dia dan ayahnya, sepakat merekrut tenaga kerja. Kini yg bikin enam orang.

Sehari mampu memproduksi 60 hingga 70 meja. Seminggu minimal 420 meja. Sebulan jumlahnya di atas 1200. Tapi meja sejumlah itu tak pernah menumpuk di rumah. Sebab pesanan selalu mengalir. Produk hari ini, begitu dia membagi kisah, dibuat berdasarkan list pesanan hari kemarin. Jadi, setiap pagi, buka list pesanan yg masuk hari kemarin, dulu meja dibikin. Di Tokopedia, katanya, “Uang kami cepat muter.”

Baca Juga:  Akhirnya Google Luncurkan Aplikasi Video Call Penantang Skype

Rupanya laju bisnis meja lipat ini selalu dipantau dan dibantu para pengelola Tokopedia. Juli 2015, manajemen Tokopedia mengontak dan menawarkan pembuatan video dalam bentuk seller story. Sang ayahlah yg berkisah di video itu. Dan semenjak diunggah tanggal 26 Januari 2016 hingga siang tadi, video itu telah ditonton lebih dari 1,136,673 kali. Sebuah angka yg terbilang fantastis.CEO Tokopedia William Tanuwijaya 2016 Merdeka.com/Djoko Poerwanto
Sesudah itu video itu meluncur, pesanan kian banyak. Sebuah lembaga kursus dari Jakarta memesan 250 meja lipat dengan berbagai motif. Anak muda itu mengantar sendiri pesanan itu ke Jakarta. “Takut rusak,” katanya.
Di tengah bisnis yg selalu melaju, reseller yg kian banyak, dan di antara setumpuk kesibukan, dia menyisihkan waktu berolahraga. Renang dan bandminton, sebab Hari Minggu dia tidak lagi menjajal kekuatan pasar emperan jalan.

“Awal mula kesuksesan aku adalah Tokopedia,” katanya sembari mata menyapu kesibukan di lantai 23 itu. Dia mengaku dirinya kurang gaul, apalagi berselancar sembari jualan di dunia maya. Tapi, “Tokopedia membuka jalan,” katanya menutup perjumpaan ini.

Sore tadi, dua jam sesudah wawancara itu, bersama ayah, adik dan sang Ibunda, anak muda ini meluncur ke Bandara Soekano Hatta. Pulang ke Solo. Memacu bisnis meja lipat yg selalu menderu itu.

Sumber: http://www.merdeka.com

LEAVE A REPLY

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.